Foto yang beberapa yang beredar di media sosial baik pengumuman Ziaroh kubro hingga bener di beberapa tempat yang sudah di pasang oleh masyarakat di kecamatan Winongan
Pasuruan, Swaralin.id – Konflik sosial di Dusun Serambi, Desa Winongan Kidul, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan, terus menggelinding tanpa kepastian penyelesaian. Lebih dari sebulan pascaperistiwa pembongkaran makam megah di area pemakaman umum, ketegangan antarwarga masih terasa. Pemerintah Kabupaten Pasuruan dinilai belum mampu mengambil langkah konkret dalam memediasi dan memulihkan harmoni sosial di tingkat akar rumput.
Kasus ini bermula dari pembongkaran bangunan makam megah yang dilakukan warga secara swadaya pada 1 Oktober 2025. Bangunan tersebut dinilai tidak menghormati makam para ulama dan auliya, dibangun tanpa izin pemerintah desa, serta menutup akses ziarah masyarakat.
“Warga hanya ingin keadilan dan ketenangan. Pembangunan itu tidak melalui musyawarah desa dan menimbulkan keresahan,” ujar salah satu tokoh masyarakat Winongan, Rabu (5/11).
Polda Jawa Timur telah menetapkan dua orang warga sebagai tersangka, sementara permohonan praperadilan oleh pihak pembela, Muhammad Su’ud alias Gus Tom, ditolak oleh Pengadilan Negeri Bangil pada 3 November 2025.
Kegaduhan sosial yang terjadi memunculkan berbagai reaksi. Forum Rembuk Masyarakat (FORMAT) Pasuruan mengirimkan surat resmi kepada Gubernur Jawa Timur, meminta keterlibatan langsung Pemprov untuk menengahi konflik yang berlarut.
“Pemerintah daerah tampak tidak mampu mempertemukan dua pihak yang berkonflik. Kami menilai perlu ada langkah dari provinsi agar konflik tidak semakin meluas,” kata Maki, salah satu perwakilan FORMAT Pasuruan, dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, Pemerintah Desa Winongan Kidul melalui notulen musyawarah tertanggal 3 November 2025 menetapkan larangan kegiatan keagamaan berskala besar di area makam Serambi. Keputusan ini dimaksudkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, namun justru menimbulkan tafsir baru di masyarakat.
Keresahan warga kini meluas. Di beberapa titik wilayah Winongan, terbentang spanduk dengan nada seruan yang menggugah :
“Pak Bupati, kami mohon perlindungan! Bereskan masalah Serambi, kami warga Winongan ingin hidup tenang dan damai!”
“Pak Bupati, mohon perhatian! Tragedi Serambi harus ditanggapi dengan serius! Warga ingin hidup tenang dan damai!”
Spanduk itu menggambarkan satu hal. Bahwa, masyarakat haus akan kehadiran negara yang menenteramkan, bukan sekadar aparat yang menindak.
Konflik Serambi tidak semata persoalan fisik bangunan makam. Ada lapisan persoalan lain yang ikut membumbung:
1. Izin dan Etika — Pembangunan makam megah dinilai tidak sejalan dengan nilai kesederhanaan para ulama terdahulu.
2. Perbedaan Persepsi Agama — Sebagian masyarakat menilai terjadi glorifikasi tokoh yang berlebihan, sehingga menimbulkan perdebatan soal akidah.
3. Kelemahan Pemerintah Lokal — Keterlambatan Pemkab Pasuruan dalam merespons gesekan sosial memperbesar jurang ketidakpercayaan warga terhadap pemerintah.
Dari sisi hukum, penyidikan kasus sudah ditangani Polda Jawa Timur. Namun di lapangan, tensi sosial belum sepenuhnya reda. Rencana kegiatan Ziarah Kubro bersama para habaib dan ulama yang beredar di media sosial untuk 10 November 2025 di lokasi makam Serambi kembali memantik diskursus publik.
FORMAT menilai kondisi tersebut sebagai sinyal kegagalan koordinasi antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pasuruan, kepolisian, dan tokoh masyarakat.
“Perlu pendekatan yang lebih bijak, bukan hanya jalur pidana. Restorative justice dan rekonsiliasi adalah kunci,” tulis Maki FORMAT dalam surat resminya kepada Gubernur Jawa Timur.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Gubernur memiliki kewenangan mengambil alih koordinasi penanganan jika konflik sosial berpotensi meluas atau tidak terselesaikan di tingkat kabupaten.
FORMAT mendesak Gubernur untuk; Membentuk tim terpadu mediasi dan rekonsiliasi sosial di Winongan, Menfasilitasi pertemuan antara warga dan ahli waris untuk mencapai kesepakatan damai dan Melakukan penataan kembali area makam sebagai simbol pemulihan sosial pascakonflik.
Kasus Winongan adalah potret kecil dari rapuhnya sistem komunikasi sosial di tingkat lokal. Ketika kebijakan pemerintah Daerah lambat hadir, rakyat memilih bertindak dengan cara mereka sendiri dan hasilnya sering kali adalah luka sosial yang berkepanjanggan.
Kini, publik menunggu langkah nyata Pemkab Pasuruan dan Gubernur Jawa Timur. Apakah mereka akan membiarkan bara sosial ini terus menyala, atau segera menyalakan lentera rekonsiliasi untuk mengembalikan kedamaian di tanah Winongan.?? (Ach)
Pasuruan, Swaralin.id - Satuan Polisi Air (Sat Polair) Polres Pasuruan Kota membagikan sayur-mayur hasil panen…
Pasuruan, Swaralin.id - Gelombang kepedulian sosial kembali mengalir dari tubuh TNI AD. Dalam rangka Hari…
Pasuruan, Swaralin.id - Kepolisian Resor (Polres) Pasuruan menunjukkan komitmen nyata dalam penguatan pelayanan publik melalui…
Kota Pasuruan, Swaralin.id - Sebuah drone milik warga Pasuruan yang tengah digunakan untuk mengambil gambar…
Surabaya, Swaralin.id - Ketidakpuasan memuncak di kalangan alumni SMAN Bangil (SMANBA) setelah permohonan audiensi mereka…
KOTA PASURUAN | SWARALIN.ID - Pemerintah Kota Pasuruan bersama Yayasan Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) secara resmi…