Scroll untuk baca artikel
Example 320x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
NasionalPendidikanTNI & POLRI

Putusan MK Soal Jabatan Polisi di Luar Polri Dianggap Final, tapi Kekosongan Aturan Teknis Ancaman Baru bagi Tata Kelola Negara

88
×

Putusan MK Soal Jabatan Polisi di Luar Polri Dianggap Final, tapi Kekosongan Aturan Teknis Ancaman Baru bagi Tata Kelola Negara

Sebarkan artikel ini
Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., Ahli Hukum Tata Usaha Negara dari Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra,
Example 468x60

Surabaya, Swaralin.id — Di tengah riuh wacana reformasi sektor keamanan dan desakan publik agar aparatur penegak hukum kembali ke rel konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 hadir bak pisau bermata dua. Putusan yang secara tegas membatalkan penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian itu memang mengunci tafsir bahwa polisi aktif tidak lagi boleh menduduki jabatan di luar struktur Polri. Namun di sisi lain, absennya peraturan pelaksana justru membuka ruang kekacauan baru: instansi pemerintah kini terjebak pada kebingungan normatif, sementara berbagai lembaga penegak hukum masih bergantung pada kompetensi personel kepolisian untuk menopang fungsi vital mereka.

Duduk di ruang kerjanya, Ahli Hukum Tata Usaha Negara Universitas Wijaya Putra (UWP), Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., menjelaskan pelan namun tegas. “Putusan MK itu final dan mengikat. Tidak ada tawar-menawar. Tapi implementasinya tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus segera membuat peraturan teknis agar tidak terjadi kekosongan hukum implementatif,” ujarnya.

Suwarno memaparkan bahwa yang dibatalkan MK bukan pasalnya, melainkan penjelasan Pasal 28 ayat (3), yang sebelumnya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri. Adanya frasa “ atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri “ itulah yang selama ini membuka ruang tafsir ganda dan kerap dijadikan dasar untuk menempatkan polisi aktif di berbagai lembaga negara, terutama yang bersinggungan dengan penegakan hukum.

Baca Juga :  Polsek Rembang Luncurkan Inovasi Layanan Cepat. "Bhabinkamtibmas Geneng Waru" Bagikan Kartu Nama dan Pasang Banner Pelaporan di Titik Rawan

Dengan adanya putusan MK yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dinyatakan tidak berlaku, maka seluruh pengecualian otomatis hilang,” kata Suwarno.

“Normanya kembali ke bentuk paling ketat: polisi hanya boleh menduduki jabatan di luar Polri setelah mengundurkan diri atau pensiun.”

Lembaga Negara Masih banyak Bertumpu pada Polisi Aktif Namun persoalan tak berhenti pada norma. Suwarno mengakui fakta lapangan berbicara lain.

BNNP, KPK, PPATK, dan sejumlah unit strategis penegakan hukum lainnya selama ini tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kompetensi penyidik kepolisian. Penyidikan tindak pidana, analisis intelijen, hingga pelacakan aset masih bertumpu pada kemampuan yang secara institusional hanya dimiliki Polri.

“Itu persoalan riil. Banyak lembaga tidak siap menjalankan tugas tanpa keterlibatan polisi aktif. Kalau semua harus mundur dulu, bisa terjadi kekosongan tenaga operasional,” ujarnya.

Inilah titik krusial yang menurut Suwarno justru memerlukan keberadaan peraturan teknis implementatif, misalnya pemerintah (PP) sebagai jembatan transisi.

Suwarno menegaskan bahwa MK adalah penafsir tunggal konstitusi—the guardian of the constitution. Putusannya berlaku serta-merta dan bersifat erga omnes artinya berlaku bagi siapa pun dan semua organ negara. Tidak boleh ada instansi yang tetap menggunakan dasar hukum yang telah dibatalkan.

Baca Juga :  Satlantas dan dishub lakukan Rampcheck Nataru 2025/2026 Semua Bus Pariwisata Solo Putra Makmur Dinyatakan Layak Jalan

Namun tanpa ada peraturan implementatif misalnya PP sebagai pedoman implementasi, pelaksana di lapangan akan dihadapkan pada dilema hukum.

“Dalam praktik birokrasi, kalau aturan teknis tidak ada, pelaksana sering kembali membaca norma lama atau bahkan menafsirkan sendiri tataran operasionalnya. Padahal dalam konteks ini norma lamanya sudah ‘mati’, tapi norma barunya belum operasional,” ujarnya.

Ia membandingkan kondisi ini dengan kebijakan pendidikan gratis yang juga ditafsirkan oleh MK yang hingga saat ini belum dapat dijalankan karena aturan pelaksana tidak kunjung terbit. “Putusan MK bisa saja progresif, tapi di lapangan seringkali tidak bisa dijalankan karena ketiadaan peraturan implementatifnya.”

Dalam perkara ini, Suwarno menjelaskan bahwa tujuh hakim konstitusi sepakat membatalkan penjelasan pasal meskipun Arsul Sani memiliki alasan yang berbeda tetapi hasil akhirnya sama. Sedangkan dua hakim lainnya Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan dissenting opinion terhadap putusan MK tersebut. .

“Tidak ada lagi dasar hukum penugasan Kapolri untuk memberikan legitimasi jabatan di luar Polri. Itu poin paling penting dari putusan ini,” kata Suwarno.

Suwarno mewanti-wanti bahwa tanpa aturan teknis, pejabat pelaksana akan saling menafsir.

Ada risiko: sebagian instansi bisa tetap menempatkan polisi aktif dengan alasan kebutuhan, sementara yang lain menolak dengan alasan patuh pada putusan MK. Akibatnya, koordinasi antar lembaga menjadi timpang dan rawan konflik kewenangan.

Baca Juga :  Dum Truk Hantam Parkiran Pasar di Pasuruan. 9 Kendaraan Rusak dan Dua Warga Terluka

“Selama aturan teknis ( PP ) belum terbit, potensi tafsir liar tetap besar. Kita bisa menghadapi situasi abu-abu yang sebenarnya tidak diperlukan,” katanya.

 

Suwarno merangkum persoalan ini dalam dua lapis masalah :

1. Secara normatif, penjelasan Pasal 28 ayat (3) sudah dinyatakan tidak berlaku.

Putusan MK mengikat semua pihak.

2. Secara administratif, pemerintah wajib menerbitkan peraturan pelaksana untuk menjalankan tafsir MK diatas, misalnya PP untuk mengatur transisi dan skema implementasi.

Tanpa itu, jabatan polisi di luar Polri berpotensi menimbulkan sengketa baru.

“Pemerintah harus bergerak cepat. Putusan MK tidak bisa dibiarkan menggantung. Negara membutuhkan kepastian hukum, dan itu hanya tercapai bila aturan teknis segera diterbitkan,” pungkas Suwarno.

Lebih lanjutu. Sebelum menutup pembicaraan Suwarno menegaskan. Bahwa keberadaan personil kepolisian di dalam jabata – jabatan tertentu di luar kepolisian masih di butuhkan berdasarkan kompetensi kepolisian.

“jadi intinya bahwa saat kepolisian itu adalah institusi sipil. Mereka sangat di butuhkan dengan catatan memenuhi kajian nilai kemampuan di bidang masing yang di dudukinya” tutup Suwarno atau biasa dipanggil Nanok (Bra/ach)

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *